AIRASIA LOW PRICE

Sabtu, 23 Agustus 2008

Rapor Merah Penyediaan Rumah


Dengan sepatu sportnya yang rombeng, Muhammad Ali, 50 tahun, berjalan tertatih-tatih. Ia mengelilingi barak hunian --hal yang disebutnya sebagai olahraga-- di kawasan Stadion Lhong Raya, Kecamatan Banda Raya, Kota Banda Aceh. Kaki sebelah kirinya tidak lagi berfungsi sempurna. "Dihantam drum sewaktu tsunami," ucapnya.

Saat gempa bumi dan tsunami menghantam Aceh, 26 Desember 2004 lalu, Ali mengaku tinggal di kawasan Peunayoeng, Banda Aceh. Kini ia menjadi salah satu penghuni salah satu barak sementara di kawasan Stadion Lhong Raya. Keluarga? "Sudah tidak ada lagi," ujarnya singkat. Ali adalah salah satu penghuni di antara sekitar 80 kepala keluarga (KK)
yang masih bertahan di tempat itu.

Sebelumnya, jumlah penghuni barak jauh lebih banyak. "Ada yang sudah dapat (rumah), ada yang belum seperti kami," kata Helmi, 28 tahun, seorang penghuni lainnya. Sampai saat ini, Helmi mengaku belum mendapatkan kabar tentang bantuan rumah, baik dari Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) maupun dari lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya yang bertebaran di Aceh. "Tsunami sudah berlalu tiga tahun, tapi kami masih tinggal di barak," ujar Helmi, gemas.

Kondisi baraknya memprihatinkan. Lantai barak yang terbuat dari kayu terlihat rapuh, sanitasi tak terurus, bahkan air bersih masih belum tersedia maksimal. "Untuk buang air besar saja kami tidak tahu harus ke mana," kata Helmi. Akibat kondisi itu, beberapa pengungsi kini terserang penyakit, seperti sakit perut dan demam. Waktu tiga tahun sepertinya telah melunturkan rasa iba para pemberi bantuan. Tak ada lagi bantuan obat-obatan atau makanan yang diterima mereka.

Di Stadion Lhong Raya sendiri masih terdapat tiga tempat penampungan korban tsunami. Sebagian besar pengungsi berasal dari seputaran kota Banda Aceh. Jumlahnya diperkirakan mencapai 250 kepala keluarga. "Di shelter terdapat sebanyak lebih kurang 149 KK. Rata-rata satu kepala keluarga itu tiga orang," kata Zulkarnaini, koordinator dua shelter dari Palang Merah Australia (ARC).

Zulkarnaini adalah pengungsi asal Ule Lhee, kawasan bibir pantai Banda Aceh. Hampir satu tahun dia menetap di shelter itu. Beberapa kali pihaknya mendatangi BRR. Mereka meminta agar BRR membebaskan tanah di Desa Ule Tui, Banda Aceh. Tanah tersebut bisa digunakan sebagai pengganti tanah dan rumah mereka yang kebanyakan sudah tergerus air laut. Tapi, hingga kini, permohonan mereka di BRR, tak jelas nasibnya. "Seharusnya, BRR itu bisa lebih canggih, lebih cepat," kata Zulkarnaini.

Selama hampir tiga tahun bekerja di bumi Serambi Mekkah itu, pihak BRR mengklaim telah membangun 107.000 unit rumah. Bahkan, hingga April 2008, ia memasang target untuk menuntaskan pembangunan hingga 120.000 unit rumah. Menurut Chief Operating Officer BRR, Eddy Purwanto, sesuai dengan target yang diberikan, setelah April 2008 tak ada pembangunan rumah lagi. "Tapi, jika ada yang mengaku belum dapat, dan kita
verifikasi ternyata dia berhak, akan kita bangun," ujar Eddy kepada Gatra.

Toh, tak semua percaya dengan data yang dirilis BRR. "Gerak (Gerakan Antikorupsi) adalah lembaga yang meragukan data BRR," ujar Akhirudin Mahyudin. Koordinator lembaga antikorupsi di Aceh ini membeberkan sejumlah temuan yang didapat dari hasil investigasi dia dan teman-temannya. Data yang dilansir BRR itu, kata Akhirudin, termasuk rumah yang baru selesai 10% saja. Bahkan ada yang baru tahap kontraknya.

Dalam laporan tanggal 31 Mei 2007, misalnya. BRR mengklaim telah membangun 77.194 unit rumah. Dari jumlah itu, katanya, yang dibangun BRR sendiri sebanyak 21.292 unit dan selebihnya (55.902 unit) ditangani LSM. Data 21.292 unit rumah yang dibangun BRR itu, menurut Akhirudin, ternyata termasuk angka rumah yang baru selesai dalam urusan perjanjian kontrak dengan pengembang dan sama sekali belum dikerjakan di lapangan.

Hal yang sama ditemukan Gerak pada laporan BRR bulan Juli 2007. BRR mengklaim telah membangun 91.540 unit rumah. Namun, dari temuan Gerak, data itu tak akurat. Data rumah yang disajikan ternyata sebagian belum dikerjakan, baru mulai ditangani kontraktor. Bahkan, hampir 1.879 unit pembangunan rumah ditinggalkan kontraktor begitu saja tanpa dilanjutkan pembangunannya sarananya.

Kejanggalan data yang dipublikasikan BRR itu, menurut Akhirudin, sudah berlangsung sejak tahun sebelumnya. Hingga April 2007, fakta yang didapat Gerak bertolak belakang dari kenyataan. Rumah yang baru diselesaikan BRR sesungguhnya hanya 13.300 unit.

Dari sisi kualitas, Gerak juga menilai banyak masalah yang muncul dalam pembangunan rumah korban tsunami. Ketidaksesuaian spesifikasi rumah, penyimpangan penggunaan material, termasuk pemakaian bahan asbes yang dianggap sebagai bahan berbahaya, menurut Akhirudin, menjadi hal yang lumrah. Praktek penyimpangan ini, menurut Akhirudin, karena banyaknya kontraktor hitam yang ikut bermain di air keruh.

Gerak mencatat tak kurang dari 226 kontraktor pembangunan di Aceh dan Nias yang masuk daftar hitam. Selain kontraktor lokal, kontraktor nasional juga ada yang masuk daftar hitam Gerak. Di antaranya, PT Equipindo Perkasa. Perusahaan yang beralamat di Kelapa Gading, Jakarta Utara, ini sempat disidik pihak kepolisian Aceh. Perusahaan perdagangan umum ini dituding melakukan pemalsuan dokumen dalam kasus tender pengadaan alat berat senilai Rp 57,9 milyar.

BRR sendiri membantah semua temuan Gerak tersebut. Menurut Eddy Purwanto, data rumah yang disajikan BRR adalah rumah yang sudah selesai dibangun. Sedangkan rumah yang masih dalam tahap pengerjaan ataupun yang masih dalam proses negosiasi kontrak tidak masuk dalam hitungan.

"Jadi, yang namanya rumah selesai adalah rumah selesai. Bukan yang baru kontrak," Eddy menegaskan. Deputi infrastruktur BRR ini juga membantah jika kualitas rumah yang dibangun BRR dibilang buruk dan mengkhawatirkan. Jika pun ada yang bermasalah, menurut Eddy, jumlahnya tak seberapa. Itu pun sebagian sudah diperbaiki setelah BRR menegur kontraktor rumah tersebut.

Eddy juga menjamin, semua pengungsi yang berhak atas rumah bakal kebagian rumah permanen. Jikapun masih ada yang tinggal di barak pengungsi, menurut Eddy, karena tak semua berhak atas rumah. Mereka yang benar-benar kehilangan tanah dan rumah saja yang berhak atas rumah itu. "Kita tahu mana yang berhak, mana yang tidak, dan kita punya daftarnya kok," ujar Eddy.

Qahar Muzakar (Banda Aceh)
[Ekonomi, Gatra Nomor 9 Beredar Kamis, 10 Januari 2008]

Tidak ada komentar: