AIRASIA LOW PRICE

Sabtu, 23 Agustus 2008

KOMUNIKASI BENEFICIARIES, MASIHKAH PENTING BAGI BRR?


LUKMAN AGE (Hanya untuk internal BRR)


Sebagai salah satu langkah dari kebijakan restrukturisasi BRR menjelang masuknya tahun 2008 adalah peleburan Direktorat Prakarsa Pembangunan Partisipatif (Direktorat PPP) di Kedeputian Perumahan dan Permukiman. Direktorat ini punya dua tugas utama yakni melakukan verifikasi calon penerima bantuan perumahan dan melakukan penguatan partisipasi masyarakat dalam proses rekonstruksi perumahan.


Tulisan ini bukan bertujuan melakukan debat agar pimpinan BRR membatalkan peleburan tersebut atau bersifat ego sektoral, namun untuk mengingatkan kembali tentang Komunikasi Beneficiaries yang pernah disebutkan pimpinan sebagai salah satu prinsip penting saat memasuki tahun ke-3 rehab rekon pasca tsunami. Karena dalam keseharian aktivitas aparatus Direktorat PPP, sejak awal tahun 2006 adalah membangun hubungan dengan korban, secara langsung, setiap hari dan dilakukan dengan masif. Sekitar 200 staf lapangan, 15 staf kabupaten dan 10 staf di kantor pusat terus menerus mewakili BRR untuk mendengarkan keluhan warga, menjawab ketidaksabaran warga dan memberi solusi-solusi atas permasalah yang mereka hadapi. Bukan saja soal verifikasi dan dana KP4D yang menjadi tugas Direktorat PPP, tapi juga soal kapan rumah mereka dibangun, soal kualitas bangunan, soal kontraktor yang lari, soal tanah, soal kesenjangan antara kampung dalam bantuan, soal NGO, soal oknum geuchik yang tidak bisa dipercaya, soal ketamakan orang-orang dalam memperoleh bantuan, juga soal non perumahan seperti soal tanggul, soal sekolah, soal modal usaha, soal dana untuk meunasah, demikian juga soal non-BRR seperti korban konflik, kaum miskin, rumah terbakar, korban banjir bahkan soal yang terkait dengan urusan pribadi seperti pewarisan, hubungan antar keluarga, perceraian, penghasilan keluarga dan lain sebagainya.. Semua itu harus dijawab staf direktorat PPP dan mewakili institusi BRR.


Komunikasi yang terjadi antara aparat direktorat PPP dengan setiap warga ini bersifat berkelanjutan dan terus menerus karena untuk mendapatkan bantuan rumah, seorang warga harus melalui beberapa tahap, dan bahkan setelah rumah dibangun atau selesai ditempati komunikasi itu masih terus berlanjut. Komunikasi juga bukan dilakukan dengan situasi yang normal, namun dengan situasi dimana nilai tawar BRR di mata publik sangat lemah dan berhadapan dengan masyarakat yang telah terprovokasi media serta memiliki karakter yang susah diajak kompromi.


Proses komunikasi yang berkelanjutan, sifat komunikasi yang tidak seimbang dan dilakukan dengan hampir 400.000 keluarga korban atau merasa sebagai korban telah dihadapi staf PPP yang dibantu 1.280 komite korban (KP4D) yang dibentuk di desa-desa selama hampir 2 tahun. Dengan dukungan organisasi seadanya, gaji staf lapangan yang tersendat-sendat, apresiasi pimpinan BRR yang sangat rendah, kami bertahan membangun komunikasi BRR dengan beneficiaries. Meski seberat itu, tapi tidak ada riak besar dalam komunikasi tersebut. Meski begitu masif dan riskannya hubungan yang dilakukan, namun tidak sampai 5 kasus kekerasan fisik terhadap staf lapangan. Hinaan dan makian yang kami terima sangat kecil bila dibandingkan dengan sektor lain atau lembaga lain yang mencoba membangun komunikasi dengan warga.


Mungkin tidak disadari bahwa komunikasi yang kami lakukan sebenarnya secara signifikan telah membendung arus protes tidak sehat warga ke BRR. Dengan pemberitaan miring setiap hari di media tentang BRR dan dengan ketidakjelasan realisasi rumah bagi korban yang belum dapat bantuan seharusnya kantor BRR akan terus dipenuhi warga demonstran, namun kenyataan tidak. Protes untuk BRR datangnya kebanyakan justru dari kelompok elite dan kelompok menengah di Aceh, sedangkan beneficiaries yang paling berhak protes tidaklah demikian. Ini bukan karena warga takut atau tidak tahu menyalurkan protesnya, namun salah satunya karena komunikasi dengan beneficieries terus kita lakukan selama ini.


Meski sebagian besar aparat PPP tetap dipertahankan (dipindahkan ke bagian lain) dan staf lapangan di pindah ke regional, namun sistem komunikasi yang telah ada dan masih harus berlanjut akan mengalami gangguan degan pola restrukturisasi seperti ini. Memang seperti tubuh, saat sehat kita tidak menyadari sakit sehingga itulah mungkin yang menyebabkan keputusan peleburan Direktorat PPP dilakukan. Padahal pimpinan BRR pernah menyatakan dalam rekonstruksi perumahan dan permukiman elemen sosial lebih besar perannya dari elemen fisik, perbandingannya bisa 80:20. Namun dalam pelaksanaan selama ini justru sebaliknya dan kini satu-satu nya direktorat yang menangani masalah sosial di perumahan dibubarkan.


Fokus direktorat PPP dalam menjaga hubungan dengan beneficiaries ini membuat kami tidak punya waktu yang cukup untuk membangun komunikasi yang baik dengan internal BRR, khususnya dengan pimpinan BRR. Sehingga kesan pimpinan BRR terhadap direktorat PPP kebanyakan bernada miring, dianggap direktorat yang tidak performe, data yang dihasilkan tidak bisa dipercaya, susah diatur dan sebagainya. Padahal kalau punya waktu yang cukup dan ada ruang yang kondusif, kami ingin sampaikan kepada pimpinan bahwa proses verifikasi calon penerima bantuan rumah adalah dunia yang sangat komplek, ada banyak elemen eksternal dan internal yang tidak semua dapat kita prediksi dalam mencapai sebuah output verifikasi. Sehingga tidak ada lembaga dan metode verifikasi yang benar-benar efektif menghasilkan output yang sempurna dan tanpa masalah. Silahkan lihat lokasi-lokasi yang dekat dengan Banda Aceh di Lingke, Rukoh, Merduati, Lamdingin, Punge Blang Cut, Kampung Jawa, Keudah dan seterusnya yang kebanyakan verifikasinya dilakukan oleh bukan BRR, disemua lokasi ada masalah, ada ketidakpuasan warga, ada rumah ganda. Padahal lembaga-lembaga non BRR tersebut bisa lebih fokus dalam proses verifikasi karena biasanya hanya menangani desa-desa tertentu dengan jumlah warga yang tidak seberapa dibandingkan yang diverifikasi BRR melalui Direktorat PPP. Demikian juga BRR pernah menggunakan konsultan survey ternama untuk proses verifikasi, namun hasilnya juga tidak memuaskan, sampai hari ini kami masih terus menetralisir masalah dari kerja perusahaan tersebut.


Kalau punya waktu yang cukup mungkin kami bisa mengemas pesan lebih baik kepada pimpinan tentang Data Finalisasi yang dihasilkan Direktorat PPP pada bulan Mei 2007 lalu. Dimana proses yang dilakukan pada waktu itu adalah Finalisasi Pendaftaran sehingga setelah itu tidak adalah permohonan bantuan rumah. Pendaftaran ini merupakan saringan awal karena daftar warga yang belum mendapat bantuan diperoleh dari hasil musyawarah pimpinan desa dan KP4D. Artinya tahapan selanjutnya bila desa tersebut ingin dibangun atau dibantu harus melalui verifikasi oleh aparat BRR. Sehingga sudah pasti ketika pimpinan meminta Komite Verifikasi dan Penertiban Penerima Bantuan untuk melakukan verifikasi terhadap data itu akan ada banyak yang harus dicoret karena tidak sesuai dengan peraturan BRR. Padahal sebelumnya ketika verifikasi sepenuhnya dilakukan Direktorat PPP hal serupa juga terjadi, 10% bahkan 40% usulan warga memang harus dicoret. Ketidaktersediaan waktu dan ruang yang cukup dalam mengkomunikasikan hal ini kepada pimpinan membuat seolah-olah integritas hasil kerja direktorat PPP sangat rendah.


Ketidakmampuan direktorat PPP membangun komunikasi yang efektif dilingkungan BRR membuat pimpinan lebih sering mendengar suara-suara minor dari pihak lain tanpa ada pembelaan. Padahal dalam proses verifikasi dan komunikasi dengan ratusan ribu beneficiaries sudah pasti ada masalah, sehingga tidaklah tepat jika laporan beberapa kasus diterima bulat-bulat dan digeneralisir sebagai dasar dalam melakukan penilaian terhadap bawahan.


Kalau saja kami tidak terlalu serius membangun komunikasi dengan beneficiaries tentu kami punya waktu yang cukup untuk membangun komunikasi dengan pimpinan guna menyampaikan bahwa kami telah berusaha meminimalisir banyak masalah yang mestinya terjadi, contohnya saja soal pengutipan dari aparat yang sebenarnya sangat rentan terjadi dalam proses verifikasi, namun sampai sekarang--dan semoga seterusnya--tidak ada laporan yang signifikan tentang pengutipan yang dilakukan aparat lapangan, baik Asperkim maupun Fascam dalam proses ini. Bandingkan dengan sebuah unit yang baru dibentuk di BRR belakangan ini yang mempekerjakan orang lapangan yang jumlahnya hanya belasan, tapi laporan pengutipan terhadap warga sangat merisaukan. Juga banyak konflik sosial dan anarkisme di desa yang telah kami cegah, dimana untuk melakukannya diperlukan waktu kerja, kemampuan dan keberanian yang lebih dari orang lapangan. Tapi semua ini tidak mendapatkan apresiasi dari pimpinan, yang sering kami dengar justru pertanyaan tentang kapasitas dan ketidakbecusan orang lapangan direktorat kami. Padahal kalau pimpinan mau lihat contoh yang dekat di Banda Aceh seperti pengrusakan rumah bantuan Bakry di Deah Raya atau pemukulan staf BRR di Alue Naga dimana dalam proses komunikasi dengan warga tidak melibatkan staf lapangan PPP, terlihat jelas bahwa potensi anarkis sangat besar dilapangan, dan kalau staf lapangan kami tidak punya kapasitas tentu akan ada banyak anarkisme dan ledakan dalam proses komunikasi dan verifikasi yang kami tangani.


Sekali lagi tulisan ini bukan menginginkan agar keputusan pembubaran direktorat PPP dibatalkan atau ingin gagah-gagahan, namun tulisan ini hanya mengingatkan tentang pentingnya komunikasi BRR dengan beneficiaries. Ada sekitar 40 sampai 50 ribu beneficiaries yang masuk dalam kategori rehabilitasi, rekonstruksi dan BSBT yang masih harus terus menerus kita beri penjelasan kenapa bantuannya belum di realisasikan. Ada ribuan warga lainnya yang menanyakan solusi atas kualitas rumah mereka yang tidak standar, dan ribuan lainnya yang menanyakan progres pembangunan yang lambat dan ribuan lainnya yang merasa khawatir dengan status bantuan yang telah ditempati karena belum secara resmi kita serahterimakan.


Saran saya bagi pimpinan adalah selain mengantisipasi struktur baru BRR agar mampu menjawab semua pertanyaan tersebut juga menyediakan alokasi anggaran yang betul-betul cukup untuk sektor perumahan guna menyelesaikan semua masalah tersebut. Karena ketersediaan anggaran yang cukup untuk membangun rumah adalah modal besar bagi kita untuk mengkomunikasikan dan menentramkan kerisauan warga akan hak-haknya yang tidak akan terpenuhi.Totalitas anggaran on budget diakhir periode BRR untuk sektor perumahan juga guna menjamin BRR dapat menyelesaikan tugas pada akhir dengan aman, karena--seperti yang telah berulang-ulang disebutkan--meski ribuan kilometer jalan raya, ratusan gedung sekolah, puluhan jembatan yang telah selesai dikerjakan BRR, namun ada jika 100 warga saja yang berhak mendapat bantuan perumahan namun tidak mampu kita realisasikan akan menjadi batu ganjalan saat BRR meninggal Aceh.


Lukman Age

Manajer Manajemen Beneficiaries

(tulisan ini bersifat pribadi dan hanya untuk kalangan di BRR)

Tidak ada komentar: